Categories
History

Sesuai dengan cara memainkannya, Sape’ dalam bahasa lokal Suku Dayak berarti “memetik dengan jari”. Nama Sape’ sendiri merupakan penyebutan dari Dayak Kenayan dan juga Dayak Kenyah. Sementara bagian suku dayak lain ada yang menyebutnya Sampe’, Sempe, Kecapai.

Seperti yang sudah diketahui Suku Dayak adalah penghuni asli pedalaman Borneo yang mendiami Pulau Kalimantan. Menurut mereka Sape’ merupakan alat musik yang berfungsi untuk menyatakan sebuah perasaan; riang gembira, rasa sayang, kerinduan, bahkan rasa duka nestapa. Dahulu,  ternyata memainkan alat musik Sape’ memiliki makna yang berbeda. Pada siang hari; menghasilkan irama yang menyatakan perasaan gembira dan suka-ria. Sedangkan pada malam hari; akan menghasilkan irama yang bernada sendu, syahdu, atau sedih.

Dalam kehidupan sehari-hari Suku Dayak, Sape’ juga digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan maksud-maksud serta puja-puji kepada yang berkuasa; baik itu roh-roh maupun manusia biasa yang berkuasa. Selain itu, Sape’ juga digunakan untuk mengiringi berbagai macam tarian Suku Dayak.

Melihat tradisi masyarakat dayak, khususnya Dayak Kenyaan dan Dayak Kenyah. Terdapat sastra lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu “Tekuak Lawe”. Di dalamnya terdapat ungkapan mengenai Sape’. “sape benutah tulaang to’awah” begitulah bunyinya. Secara harfiah dapat diartikan bahwa Sape’ itu mampu meremukkan tulang-belulang hantu yang bergentayangan.

Ungkapan tersebut menggambarkan; alat musik Sape’ mampu membuat orang yang mendengarnya merinding hingga menyentuh tulang atau perasaan. Bagi para tetua adat Dayak terdahulu, keyakinan akan kesakralan Sape’ memang betul bisa dirasakan. Suasana pedesaan dan nuansa adatyang pada saat itu masih sangat kental menjadi alasannya.

Sape’ sendiri sebagai Alat musik yang dimiliki oleh Suku Dayak terdiri atas dua jenis, yang pertama yaitu Sape’ Kayaan (ditemukan oleh orang kayaan). Sape’ jenis ini memiliki 4 tangga nada dengan ciri berbadan lebar, bertangkai kecil, panjangnya sekitar 1 meter, memiliki 2 senar/tali dari bahan pelastik. Sedangkan yang kedua yaitu Sape’ Kenyah (ditemukan oleh orang kenyah). Sape’ jenis ini; berbadan kecil memanjang, pada bagian ujungnya berbentuk kecil dengan panjang sekitar 1,5 meter, memiliki tangga nada 11-12 dan talinya berasal dari senar gitar atau dawai yang halus tiga sampai 5 untai.

Sekilas Sejarah Sape’

“Konon menurut mitologi Dayak Kayaan, Sape’ Kenyah diciptakan oleh seorang yang terdampar di karangan (pulau kecil di tengah sungai). Saat itu sampannya karam (Tenggelam) di  terjang  riam (ombak).  Orang yang sampai kini belum diketahui identitasnya itu bersama  dengan rekannya  menyusuri  sungai, lalu mengalami karam.  Mereka mengalami karam karena tidak mampu menyelamatkan sampan dari riam. Satu dari mereka berhasil  menyelamatkan  diri  ke  karangan. Sementara  sisanya  meninggal  karena tengelam dan dibawa arus.

Ketika  tertidur,  antara  sadar  dan  tidak, dia yang selamat mendengar  suara  alunan  musik  petik  yang begitu  indah  dari  dasar  sungai.  Semakin  lama dia  mendengar  suara  tersebut,  semakin  dekat pula  rasanya  jarak  sumber  suara  musik  yang membuatnya penasaran itu. Hal ini dia alami Seolah sedang mendapatkan ilham dari leluhur nenek moyangnya. Sekembalinya ke rumah, dia mencoba membuat sebuah alat musik dan memainkannya sesuai dengan lirik lagu yang didengarnya saat di karangan. Mulai saat itu Sape’ Kenyah mulai dimainkan dan dijadikan musik  tradisi  oleh  suku  Dayak  Kenyah,  hingga ke group Dayak Kenyah lainnya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *